Biasanya ia tiba sekitar pukul sembilan pagi. Sudah termasuk telat tentunya, dan tunjangan kinerja dipotong (pastinya), namun ia tak pernah ambil pusing. Setelah menyapa rekan-rekan kerja dengan senyum manis dan suara renyah, laptop dikeluarkan, dan mulailah kegiatan bekerja untuk hari itu. Biasanya kegiatan bekerja ini berlangsung tanpa henti, hanya diselingi istirahat makan siang selama sejam, dan rata-rata berlanjut hingga pukul tujuh hingga delapan petang setiap harinya.
Pertama kali aku melihatnya di layar kaca salah sebuah televisi nasional. Saat itu di kantor sudah tersiar kabar bahwa mbak yang satu ini nantinya akan pindah ke stasiun televisi lokal tempat kami bekerja. Maka siang hari itu, ketika sedang menonton berita di televisi nasional tersebut dan nama presenter dimunculkan, aku langsung berpikir, oh mbak ini tho, yang akan masuk ke kantor kami.
Beberapa waktu kemudian mbak yang cantik dan cerdas ini benar-benar muncul di kantor. Masih lekat di ingatan, saat itu mbak yang logatnya agak medhok ini terheran-heran melihat puluhan karyawan antre sekedar untuk menggoreskan tanda tangan di buku absen, sehabis mengikuti ceramah Master. Beberapa waktu kemudian gantian kami yang terheran-heran ketika si mbak yang gigih ini berhasil meyakinkan para atasan bahwa tidak pada tempatnya apabila karyawan diwajibkan menghadiri acara ceramah pagi tersebut. Kewajiban menghadiri ceramah pun dihapuskan.
Mbak yang punya banyak keahlian ini adalah guru bagi kami semua (terutama yang berada dalam divisi yang ia pimpin). Membimbing reporter dan kamerawan yang telah terbiasa membuat berita singkat 1,5 hingga 2 menit, untuk beralih ke berita feature yang berdurasi 5 hingga 12 menit (atau bahkan lebih), tentunya bukan hal yang gampang. Membuat program feature harian berdurasi 24 menit dengan anak buah minim. Pun melatih seorang yang cadel, medhok, sekaligus tidak percaya diri untuk menjadi anchor. Percayalah, pasti tidak gampang!!!
Nyatanya, semua itu bisa ia wujudkan. Hebatnya lagi, mbak yang memiliki dua puteri kecil ini mampu mewujudkan semua itu tanpa tangan besi. Cukup dengan diskusi, tutur kata halus, canda segar, serta nada suara penuh pengertian. Tanpa memaksa. Tanpa mengintimidasi. Tanpa mengeluh, seluruh anak buah akan bergerak sesuai jalan yang telah disepakati. Sayangnya, mbak yang pernah berprofesi sebagai penyiar radio ini tidak berjodoh terlalu lama dengan kantorku. Dua tahun cukup.
Pernah kudengar komentar seseorang, ‘biarin aja dia keluar, toh nggak ada hubungannya dengan divisi gue.’
Aku langsung merasa kasihan pada orang ini. Rupanya selama dua tahun si mbak bekerja di sini, tak ada satupun yang ia pelajari darinya. Maklumlah, ia berasal dari divisi yang berbeda, hampir-hampir tidak ada sangkut pautnya dengan mbak yang dinamis itu.
Tiba-tiba aku merasa jauh lebih beruntung. Dua tahun si mbak berkarya di sini, begitu banyak yang aku pelajari. Dua tahun pula aku dan rekan-rekan sedivisi menjadi spons, siap menyerap segala ilmu pengetahuan yang si mbak lontarkan. Ada yang sudah menuai prestasi, ada juga yang belum. Namun satu hal sudah pasti. Mbak yang kini bekerja di sebuah televisi swasta nasional ini telah menyirami bibit-bibit kecil, yang kini telah tumbuh menjadi pohon. Maka, mbak yang piawai menyetir mobil ini tak perlu khawatir. Karena pohon-pohon hasil semaiannya akan terus memperkuat akar dan tumbuh tinggi.
Dengarlah gemerisik daun-daun ditiup angin, mengucap sebaris kata “terima kasih”.