Pengalaman terpesona selama kurang lebih 4 jam ini, biasanya saya alami setiap tahun sekali. Semuanya bermula pada tahun 2006.
Pada saat itu, seorang rekan bertugas meliput pentas Teater Koma, yang bertajuk ‘Festival Topeng’. Usai liputan, ia bercerita tentang serunya pentas teater tersebut. Saya yang belum pernah menonton pentas Teater Koma, tapi sudah lama mendengar nama besarnya, jelas tertarik. Setelah memprovokasi, dan menggalang persatuan dan kesatuan di kalangan teman sekantor, akhirnya ada beberapa orang yang bersedia diajak pergi menonton bersama-sama. Kami sepakat membeli tiket paling murah, menonton di balkon, seharga 30 ribu rupiah per tiket. Selain sesuai dengan isi kantong, tiket di balkon merupakan satu-satunya yang tersisa, karena waktu sudah mepet.
Saya yang bertugas memesan dan membelikan tiket, karena lokasi penjualan tiket tak jauh dari tempat kos saya di kawasan Karet Sawah, Jakarta Selatan. Pada satu malam yang berhujan, sepulang kerja saya naik ojek menuju ke sebuah alamat di kawasan Setiabudi Barat. Mengarungi banjir setinggi lutut. Tak pelak lagi, tukang ojek yang piawai perlu mendapat acungan jempol. Upaya yang sepadan, karena saya berhasil pulang dengan mengantongi 6 lembar tiket. Cihuy…!!!
Itulah kali pertama saya terpesona selama 4 jam. Hebat nian para pemain teater itu. Misalnya, ada satu adegan, di mana para pemain bicara dengan suara berbisik lantaran sedang membicarakan suatu rahasia. Namun ucapan mereka amat jelas tertangkap oleh telinga!
Kali kedua, tahun 2007, saya kembali terpesona dengan pentas Teater Koma yang bertajuk ‘Kunjungan Cinta’. Kali itu, kebetulan kedua orangtua saya sedang berada di Jakarta. Jadilah saya ajak orang tua, adik, seorang tante, dan saudara sepupu pergi menonton. Pengalaman yang mengesankan bagi mereka. Meski ibu dan tante saya sempat tertidur selama beberapa saat (karena pentas teaternya malam, jadi mereka sudah mengantuk), namun adegan di mana Pak Butet dan ‘keluarganya’ pergi berkeliling kota amat membuat mereka terpingkal-pingkal.
Kali ketiga, tahun 2008, nyaris saja saya kehabisan tiket! Saya baru ngeh kalau Teater Koma pentas lagi, setelah pentas itu sendiri berjalan selama kurang lebih seminggu (biasanya mereka pentas selama 2 minggu). Akhirnya, meskipun mendapat tempat duduk yang kurang strategis dan tercerai-berai, kami berhasil juga menonton pentas ‘Kenapa Leonardo’. Terkagum-kagum kami menyimak permainan Budi Ros yang berperan sebagai Leonardo. Jago bener maennya! Konon, Evald Flisar sang penulis drama aslinya pun terpesona. Maka terpesona pulalah kami selama 4 jam lebih!
Kali keempat, saya tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Sengaja saya mengikuti milis Teater Koma, agar selalu mendapatkan berita terkini. Pada tahun 2009, kami sukses mendapatkan tiket di tempat yang sangat nyaman dan strategis, untuk menyaksikan ‘Republik Petruk’. Lagi-lagi, penampilan Budi Ros dan kawan-kawan begitu memikat! Sambil tertawa terpingkal-pingkal, kami terpesona selama 4 jam. Ah, adakah tontonan live yang lebih memesona daripada kelompok teater ini?
Kali kelima, baru saja terjadi, tepatnya tanggal 7 Februari lalu. Kali ini yang diusung adalah kisah ‘Sie Jin Kwie’. Pinyin-nya Xue Rengui, tulisan kanjinya 薛仁贵. Sebagai penggemar kisah-kisah dunia persilatan, saya penasaran, kok belum pernah mendengar nama Sie Jin Kwie ya? Saya tahunya cuma Pendekar Harum, Yo Ko, Kwee Ceng, Thio Bu Kie, 108 Pendekar Liangshan, Pendekar Negeri Tayli, dan lain sebagainya. Kata garwa (sigaran nyawa: belahan jiwa) saya, kisah ini rupanya kurang populer di Hong Kong, Taiwan dan sebagainya, jadi jarang difilmkan. Nah, tak kurang kan, motivasi untuk kembali menyaksikan pentas Teater Koma? Selain sebagai penggemar fanatik, saya sekaligus bisa tahu kisah Sie Jin Kwie. Kali ini kami mendapat tempat duduk nomor 4 dari depan. Wow, ternyata menonton dari jarak dekat lebih mengasyikkan! Apalagi pemain favorit saya, Budi Ros, berperan sebagai dalang yang sering-sering muncul untuk mengocok perut penonton.
Pulang menonton, saya memberitahu garwa, bahwa ada teman saya, Tedjo, yang selalu menonton pentas Teater Koma 2 kali. Awal dan akhir pementasan. Katanya, selalu ada improvisasi yang menarik dari para pemain.
Rupanya garwa saya tertarik. “Kita nonton lagi aja,” ujarnya.
Jadilah hari ini saya menelepon lagi, dan mendapat 4 tiket untuk pementasan tanggal 21 Februari mendatang. Baris ketiga dari depan, di bagian tengah. Lho, kok 4? Iya, saya bercerita pada Wi Laoshi, dosen saya di UI dulu, dan beliau tertarik untuk ikut menonton. Sampai ketemu tanggal 21 Februari nanti ya, Laoshi ^^
Wah. Belum pernah nonton pentas teater koma. Pengen banget nonton. Tapi masak harga tiket harus plus kereta jkt-semarang pp dan penginapan (dan taxi ke tempat pentasnya)? Kan jadi mahal banget ya?
Aku pernah denger Sie Jin Kwie. Dari mamaku. Tapi lupa ceritanya kayak apa. Sampe nonton 2 kali? Jadi tambah penasaran…
Hehe… emang rada ribet kalau tinggal di luar kota. Ortu saya aja sebenernya tertarik mau nonton, tapi mereka pas nggak ada rencana ke Jakarta.
Sie Jin Kwie rencananya mau dibuat trilogi, jadi tahun 2011 Teater Koma masih main Sie Jin Kwie tapi dengan kisah yang berbeda, terus 2012 mungkin masih mau dilanjutin lagi ceritanya.
Jadi masih banyak kesempatan nonton ^^
Sie Jin Kwie itu yang makannya banyak banget dan tenaganya juga gede banget… coba minta mamamu ceritain lagi ^^
Kenapa pentas-pentas kayak beginian lebih sering main di Jakarta?? Bagaimana dengan kami-kami yang kepengen nonton ini tapi tinggal di Surabaya?? Tahun lalu Putu Wijaya sempet road show sampe ke Surabaya tapi entah kenapa pada tanggal yang sama itu teater gerejaku juga pentas! (enggak sanggup deh saingan sama Putu Wijaya hehehe). Kalau sampai main di Surabaya, saya pasti ikut nonton! Soalnya teater itu satu2nya yang bisa ditonton berdua sama “garwa” (selain film-film fantasi tentu saja) 😉
Uhm.. tapi saya nggak pernah dengar Sie Jin Kwie, ya maklum aja wong yang suka dunia persilatan macam Santi aja blom pernah denger apalagi saya yang lebih suka dunia ini damai tanpa silat hehehe (ngeless.. emang dasarnya ga suka aja kok).
Sebenernya pihak Teater Koma bersedia pentas di mana aja, tapi kan butuh sponsor ya, soalnya biayanya juga gede.
Mungkin JC mau sponsorin? Hehehe… ^^
Saya jadi merasa beruntung tinggal di Jakarta, meski polusinya gila-gilaan, tapi banyak alternatif tontonan yang menarik. Selain Teater Koma, ada juga yang masih terngiang-ngiang sampe sekarang (saking bagusnya), yaitu pentas balet ‘The Sleeping Beauty’ dari Rusia, itu juga WOW KEREN!!! ^^
Tahun depan kalau pas pentas Teater Koma lagi, main ke Jakarta aja Jess… ^^
kemarin adalah kunjungan pertamaku ke Teater Koma…itu juga karena kamu yang mengingatkan mbak. untuk kelompok yang satu ini tiket 100ribu rasanya terlalu murah. cause they are so cool!!! sampe kebawa mimpi mbak…
nanti untuk sequel berikutnya, mudah-mudahan kita bisa nonton bareng ya. biar rameeee…
Iya, 100 ribu rasanya melebihi sepadan ya ^^ Yuk, tahun depan kita nonton bareng-bareng ^^
Hei, Wong Muntilan. Jadi nonton Sie Jinkwie 21 Feb? gimana beda apa sama?
Sekedar kasih tahu, Festival Topeng cuma 2,5 jam. bukan 4 jam.
Trims ya sudah nonton dan memprovokasi teman2 untuk nonton. ngajak teman nonton teater itu tugas mulia.
sampai ketemu di lakon mendatang ya.
salam.
@Budi Ros:
Halo Pak Budi Ros, salam kenal ya… wah rasanya sueneng buanget Pak Dalang / Pak Petruk / Pak Martin mau berkunjung ke rumah maya saya, hehe… ^^
Jadi nonton dong! Dari tempat parkir sampai ke pintu masuk GBB, tiket saya sempat ditawar sama 3-4 orang calo (busyet dah!) tapi ya ndak bakal saya kasih, hehe… ^^
Ada banyak yang beda, improvisasinya banyak banget, yang bahasa Sunda itu misalnya, tanggal 7 Februari belum ada ^^
Waduh, seharusnya kami (para penonton) yang berterima kasih, karena Teater Koma sudah bekerja keras demi menyajikan tontonan spektakuler yang tak terlupakan…
Semoga seluruh pemain dan kru pendukung produksi Teater Koma selalu sehat, bahagia, panjang umur, sukses, dan semua urusan lancar…!!!
Sampai ketemu di lakon mendatang ^^
Salam kenal juga. Saya dan kami semua senang juga berkenalan dengan teman2 penonton. Dulu waktu saya masih bantu2 urusan tiket, malah banyak penonton yang kemudian jadi sahabat, dan berkomunikasi sampai sekarang. Ada juga yang datang waktu saya nikah.
Sekarang, tidak bantu tiket lagi karena ngurus tiket nyaris tidak ada ngasonya. Setiap detik telepon berdering, giliran sore persiapan latihan (apalagi kalau mulai manggung) energi habis. Jadilah sekarang tiket diurus yang muda2. Belum lagi kadang harus bersitegang dengan calo, karena kami tidak mau jual ke mereka sepanjang kami tahu mereka calo. Tapi calo lebih licin dari kami. Mereka tahu bagaimana mengelabuhi kami. Jadi jangan heran kalau ada saja tiket di tangan calo. Tapi tidak seberapa. Buktinya mereka masih miskin. Juragannya sih pasti lebih tajir dari pemain teater, hahaha ..
Soal terimakasih, mungkin sama-sama. Kreator boleh bikin sebagus apa saja, kalau penonton tidak mau dateng mau bilang apa? Jadi terimakasih kami, juga mohon diterima. Terimakasihmu kuterima juga. Adil.
Betul kata teman kita dia atas, tiket yang kami jual memang murah sekali dibanding baiya produksi dan upaya keras kami bikin pertunjukan bagus. Tapi itulah kesepakatan kami, menjual tiket semurah mungkin. Dan sepakat tidak hidup dari teater. Artinya kami harus kerja macam2 untuk menopang hidup. Di sisi lain kami juga was2, berapa lama kami bisa bertahan dengan menjual tiket semurah ini?
Waduh, jadi serius nih. Omong2, siapa teman yang mengajakmu nonton Teater Koma pertama kali? Bekerja di mana? Salam kenal buat dia. Terima kasih doanya.
salam.
Yang pertama kali bercerita tentang Teater Koma sampai saya kepingin nonton, namanya Galuh, sekarang bekerja di tvone ^^ Dulu meliput Festival Topeng saat masih bekerja di Da Ai TV.
Saya acung jempol buat para seniman Teater Koma yang tidak hidup dari teater, dan masing-masing punya pekerjaan sendiri-sendiri. Mungkin justru hal ini yang membuat kalian bisa tetap idealis, dan hanya mementaskan pertunjukan yang memang sesuai dengan idealisme kalian. Karena tetap idealis, makanya bisa bertahan dan terus menjadi favorit sampai puluhan tahun.
Tidak heran kalau Teater Koma merasa was-was, bisa bertahan sampai kapan. Lha saya saja yang menonton dan melihat properti serta kostum ‘Sie Jin Kwie’ langsung mikir dan ngitung-ngitung (calculator mode: on), rasanya hasil penjualan tiket 2 minggu penuh masih belum bisa nutup biaya pembuatan properti dan kostum deh, hehe…
Tapi seperti yang ditulis di buku panduan ‘Sie Jin Kwie’, (ga ingat tulisan lengkapnya) ada saja tangan-tangan yang membantu dan mendukung supaya Teater Koma bisa terus berkarya. Tenang saja, Gusti Allah boten sare. Entah bagaimana caranya, pasti ada jalan. Pasti ada sponsor. Buktinya Teater Koma sudah 33 tahun, ya kan…!!! ^^
Soal calo, memang ribet ya. Mungkin dalam hidup kita memang harus berbagi, termasuk berbagi dengan calo, hehe… ^^ Tapi sepertinya mereka cuma berhasil mendapat sedikiiiit tiket, karena kebanyakan pembeli kan mengambil tiket sendiri ke Bintaro (cari rumah yang ada kodok merah^^) atau beli di loket GBB.
Ohya, ngomong-ngomong, bagaimana caranya membedakan penonton sungguhan dengan calo? Apakah bisa dideteksi lewat telepon atau harus ketemu langsung dulu baru tahu? Menarik sekali…!!! ^^
Sebetulnya tidak pernah bener-bener bisa membedakan, mana calo dan mana bukan. Tapi, dulu waktu masih jualan tiket, mata dan telinga saya cukup terlatih. Dan beberapa berhasil dibuktikan. Calo, sopir, office boy, orang suruhan, secara fisik dan gaya bisa sama. Tapi hanya calo yang begitu kecewa kalau dengar tiket habis sementara mereka/dia belum pegang tiket tgl. yang dimaksud. Mungkin karena itu berarti “kesempatan panen tidak jadi datang”. Kalau bukan calo dan bukan penonton, sih tenang2 saja. Wong mereka tidak dapat keuntungan dan kerugian apa-apa.
Biasanya calo membeli yang weekend. Kalau kita curiga yang bersangkutan calo, kita catat saja nomor dan deretnya. Iseng2 di depan gedung pertunjukan kita lihat tiket yang dipegang calo. Kita bisa kenal, itu tiket yang kita jual atau bukan. Karena bisa jadi, yang jualan dan yang yang beli beda orang. Dulu malah ada calo .Jakarta, yang sampai ikut ke Surabaya waktu kita main Sampek-Engtay di sana. Kalau tak salah tahun 1989.
Dulu kita kenal wajah calo2 yang jualan di TIM atau GKJ. Mereka juga suka bujuk kita jual tiket lebih atau tiket yang mau dikembalikan ke tim, dengan harga lebih mahal pula. Umumnya mereka ramah sama kita dan selalu panggil “bos”. Ada pula yang sampai masuk “daftar penonton”, sehingga tahu kapan kami main. Dulu kan kita kirim poscard kepada penonton yang ada dalam daftar. Duluuu, sebelum jaman e-mail dan facebook.
Ada juga yang mengupah anak sekolah untuk beli tiket. Belakangan, calonya juga nonton kalau mereka punya tiket yang tidak terjual. Jadi kami makin sulit membedakan, sebab calonya juga penonton. Dan, ada satu lagi yang tidak bisa aku critakan di sini menyangkut percaloan. Seru, tapi mungkin tidak etis.
San, trims atas doamu. Moga2, seperti kamu bilang: Gusti Allah Mboten Sare. Kalau Sare, ya jangan lupa “nglilir”. Dengan begitu, kami tetap bisa pentas meski dananya yang bisa kami pastikan cuma dari penonton. Donatur dan sponsor, siapa bisa janji?
Aku tadi lihat video kamu nyanyi sama Delon. Rupanya, aku punya penggemar penyanyi … hahahaha …
Trims untuk kegigihanmu memprovokasi Gar-Wo menonton kami. Salam untuk dia.
BR
Hehehe… saya ndak berani disebut penyanyi, cuma orang yang hobi banget nyanyi ^^
Saya rasa sudah benar kalo mulai tahun ini Teater Koma jual tiket lebih mahal tiap weekend, biar penontonnya kian merata. Soalnya saya pernah nonton hari biasa, dan melihat masih ada saja tempat duduk yang kosong. Kalo weekend dimahalin dikit kan dengan sendirinya banyak penonton yang pilih hari biasa. Sedangkan weekend, mau tidak mau pasti tetap rame. Jadi taktiknya mirip seperti bioskop 21, hehe… ^^
Semoga biaya produksi Sie Jin Kwie 2 tidak semahal Sie Jin Kwie 1 ya, semoga banyak properti dan kostum yang bisa dimanfaatkan lagi. Dan jangan lupa jual juga DVD Sie Jin Kwie 1, saya sudah berencana mau beli, hehe… ^^
Kapan Pak Budi Ros menulis naskah dan menyutradarai teater lagi, seperti ‘Festival Topeng’ dulu? Ditunggu lakon-lakon berikutnya ^^
Sebetulnya saya sudah menyiapkan lakon, tapi apakah tahun ini terlaksana dipanggungkan saya belum tahu. Main teater perlu tekad baja, menyutradarai teater harus punya “pabrik baja”. Berikutnya adalah, “kantong baja”. Setidaknya, 6 bulan stop ngamen. Dan di masa sulit begini, sungguh sulit, Jeng. Tapi berkat doa teman2, mudah2 paling lambat tahun depan terlaksana.
DVD Sie Jin Kwie pasti dijual. Sekarang masih diedit oleh Giras Basuwondo, putra mas Butet. Mungkin bulan depan bisa dipesan. Kontak aja ke Dika, atau Rangga. Ke saya, juga boleh.
Penonton kita memang unik, Minggu pertama biasanya nyantai. Begitu pertunjukan mau habis, baru sibuk nyari teket. Itu pun kadang kalau sudah dengar “bagus” dari teman.
Padahal perkiraan saya, 30% penonton adalah pelanggan tahun2 awal. Antara 77-80 awal. Penonton fanatik yang tidak mau ketinggalan. Apa pun materi yang kami angkat mereka harus nonton. Dan biasanya mereka sudah membawa anak, atau cucu.
mas budi, bagaimana caranya bisa mendapatkan dvd Sie Jin Kwie. bisakah dibeli secara online? saya sangat tertarik untuk membeli untuk koleksi pribadi. mohon dibalas. terimakasih 🙂
@budi ros
salam budaya.. Mas Budi, kalau pengin mendapatkan videonya festival topeng bagaimana ya ,Mas?
hubungi Teater Koma aja di 021 7350460 mas 🙂
Hehe… belajar dari pengalaman nyaris kehabisan tiket, mulai 2009 saya beli tiket sejak tiket mulai dijual ^^
Beneran lho, lakon ‘Kenapa Leonardo’ itu, lebih telat beberapa menit saja saya sudah tidak dapat tiket. Soalnya calon pembeli yang antre di belakang saya banyak yang kehabisan.
Saya sudah tinggal di Jakarta sejak pertengahan tahun 1996, jadi mestinya sudah bisa nonton banyak lakon Teater Koma ya. Tapi kenyataannya, baru tahun 2006 mulai nonton… huhu… menyesal, kenapa tidak dari dulu :((
Mengenai lakon Pak Budi Ros, saya doakan semoga bisa segera dipentaskan. Semoga ‘pabrik baja’-nya beroperasi dengan baik, agar menghasilkan ‘kantong baja’…!!!
Kalau DVD Sie Jin Kwie sudah jadi, boleh ya saya dikabari. Ngomong-ngomong, Pak Budi Ros punya blog atau rumah maya juga ndak? ^^
Aku tidak/belum punya blog, San. Aku kan gatek.
Iya, kenapa dong tidak dari 96 nonton? Dulu nonton konser musik dan bioskop terus kali ya?
Terus, omong2 apa kata Galuh waktu memprofokasi kamu untuk nonton TK? Waktu itu dia sudah nonton berapa lama?
Aku juga ingin tahu, gimana komentarmu tentang Festival Topeng? Aku pikir, lakon itu tidak terlalu menghibur, buat penonton yang pertama kali nonton TK, agak heran juga bisa membuat orang berlanjut nonton. Tolong ceritakan ya San.
Aku juga ingin masukanmu, kira2, kalau kami main 3 Minggu masih adakah penontonnya? Kalau ada, apa alasannya? Kalau tidak, kenapa? Itung2, ini survey kecil2an nih.
Kami sendiri, ada kerinduan main selama mungkin. Tapi kalau tidak ada penontonnnya buat apa?
Sekedar info, akhir Oktober kami akan main di Salihara. Lakonnya sedang disiapkan. Doakan ya San.
Iya nih, dulu cuma tahu nonton bioskop aja ^^
Galuh waktu itu sekedar cerita tentang pengalaman liputannya saja, tapi saya langsung tertarik.
Rupanya saya ini penggemar teater, cuma belum ngeh aja. Jadi setelah nonton Festival Topeng, baru ngeh bahwa sebenernya saya suka nonton teater ^^
Festival Topeng menghibur kok, ceritanya menarik, bikin penasaran, pemainnya bagus-bagus, terus ada adegan-adegan lucu (terutama yang ada ‘gemes-gemes’-nya). Terus yang bikin saya kagum, ya olah vokal para pemainnya. Ngomong bisik-bisik, tapi suaranya tetep kedengaran jelas dari balkon.
Kalau melihat tiket selalu habis di hari terakhir pertunjukan, sedangkan masih banyak calon penonton yang nggak dapet tiket, mestinya pentas 3 minggu juga masih ada penonton. Kalau tidak salah, dulu Teater Koma pernah pentas lebih dari 3 minggu ya? Dan selalu rame, jadi layak untuk dicoba lagi ^^
Semoga semua persiapan lancar, dan akhir Oktober bisa pentas di Salihara, ditunggu nih ^^
huuuu… jadi pengen nonton teater Koma…
btw… lam kenal, blognya enak dibaca… =)
Halo Alice in Wonderland, salam kenal juga, dan thanks ya atas pujiannya ^^
Halo mbak wongmuntilan,
baca blog mbak asyik juga, apalagi ada reply dari budi ros. saya juga penggemar teater koma, tapi baru nonton mulai 2008, lupa apa judulnya. tapi yg paling keren, budi ros di lakon kenapa leonardo (^_^).
sudah nonton rumah pasir mbak? gak terlalu teatrikal seperti sie jin kwie tapi lumayan menghibur dan mendidik.
genia
wong yogya yg tinggal di jakarta
Halo juga Genia ^^
Terima kasih ya sudah mampir ^^ Saya belum nonton ‘Rumah Pasir’, rencananya mau nonton petunjukan terakhir tanggal 7 November ^^
wongmuntilan, aku juga sempet nonton di salihara tgl 7 lalu. baru kaliini nonton langsung, dulu… dulu sekali, saat masih secara rutin di tayangin di tvri (kalo gak salah) aku sering nonton, ya…waktu itu masih SD. aku sudah suka. duilah… sampe sekarang baru berhasil liat langsung…
aku bangga deh, kita (orang indonesia) bisa dpt tontonan bagus juga dari orang indonesia 🙂
akting pak budi, mmg memukau ya…hehhehehehee
Halo Iyun, salam kenal ya ^^
Wah sama dong, nonton tgl 7 ^^
Iya, akting Pak Budi memang memukau… selain itu saya juga kagum banget sama akting mbak Tuti yang main jadi Wieske ^^
Terus, yang tidak kalah seru, setelah nonton bisa salaman sama sutradara dan para pemainnya, sekaligus kenalan sama Pak Budi Ros, hehe… ^^
Pokoknya T-O-P-B-G-T ^^
saya malu untuk kenalan 😦
mau minta foto bareng aja gak berani hehehehehehe
tapi aku beranikan diri utk minta ttd pak riantiarno di salah satu buku (kumpulan cerpennya).
kamu tau lagu yang dinyanyikan sama naomi? yang judul lilin2 ungu itu?
wah, indah sungguh.
wongmuntilan, gimana ya…caranya bisa dapatkan lagu itu hehehehehehe
terngiang2 ditelinga…heheheheheh
@Iyun: untungnya urat malu saya udah putus, jadi gak malu-malu lagi, hehe… ^^
Minimal udah dapet tanda tangannya Mas Nano kan… lain kali pasti bisa kenalan dan foto-foto ^^
Saya juga nggak foto-foto karena nggak bawa kamera, huhu…
Iya, lagunya bagus banget… tapi saya nggak tahu di mana mendapatkannya, tunggu aja sampai ‘Rumah Pasir’ udah dibuat DVD-nya, baru deh beli ^^